Monday 4 October 2010

Dekadensi Moral terjadi Akibat Jauh dari Quran

Heboh klaim Borobudur yang lalu, membuat tulisan ini akhirnya
sepertinya perlu. Ummat islam sering bersuara bahwa untuk bangkit dan
berdiri, ummat perlu berpegang pada Quran. Dengan bermodalkan
semangat, banyak sekali yang memaparkan isi al Quran dengan berbagai
versi. Ada versi Science (ataupun pseudo science), ada yang versi
bisnis, ada versi Mistik, versi filsafat barat, berbagai versi, dan
semuanya berusaha menawarkan solusi (ataupun tidak).

Akan tetapi, kawan-kawan yang mencoba menafsirkan Quran ini, karena
tidak berdasarkan ulumul Quran,atau ilmu al Quran, pada akhirnya, yang
didapat bukanlah isi al Quran seperti yang diangan-angankan, tetapi
isi dari khayalan sang penafsir sendiri.

Hal ini sama saja dengan mencoba mengurai rumus phytagoras dengan ilmu
kebidanan. Yang terjadi bukanlah uraian mengenai phytagoras, akan
tetapi tebak-tebak manggis dan paksa-sambung. Sama seperti halnya
mencoba mengurai Quran, tanpa ilmu mengenai tafsir al Quran. Yang
terjadi, bukanlah mendapatkan isi Al Quran sebagai tuntunan hidup,
akan tetapi khayalan kosong belaka. Wajar ketika sang penafsir, (dan
yang mengikutinya) bukanlah mendapatkan isi Al Quran, akan tetapi isi
dari khayalan sang penafsir sendiri.

Hal ini diperburuk dengan kenyataan bahwa gelar keislaman di sebagian
tempat di negeri ini, demikian mudah diperoleh, cukup memiliki banyak
pengikut, maka disematkanlah -oleh pengikutnya/media- gelar KH, tak
seperti dahulu, gelar hanya bisa didapatkan melalui pengakuan dari
sekian kiai/ulama yang sudah ada (NU jawa tengah misalnya, dari kiai
sepuh), dan memerlukan persyaratan keilmuan tertentu untuk bisa
diakui. Gelar ustadz pun dengan mudah disandang oleh siapapun yang
sudah sekian kali berbicara tentang islam dimuka umum, tak lagi
mengharuskan penyandangnya memiliki ilmu tertentu (ilmu Quran atau
Hadist), atau tak usah lagi ditasbihkan oleh kiai.

Jadi, meskipun bergelar ini dan itu, seorang KH penafsir Quran, atau
Ustadz penafsir Quran bisa jadi tidak punya ilmu Quran sama-sekali.
Beda dengan Ayatullah misalnya. Karena di Iran sana, gelar Ayatullah
ya seperti gelar kiai jaman dulu disini. Harus ditasbihkan melalui
suatu ujian oleh sekian ayatullah sepuh (eh, udzma maaf) dan memiliki
ijazah tersendiri.

Kembali lagi pada para penafsir Quran yang memakai ilmu selain ilmu al
Quran itu. Dengan semua niat baik itu, malangnya, bukannya dia
mendapatkan kemasyhuran, akan tetapi mendapatkan 'karma', bahwa yang
memaksakan pendapatnya pada al Quran, akan didorong pada kehinaan
dunia, belum lagi di akhirat. Yang perlu dikasihani, bukan hanya sang
penafsir, tapi juga para pengikut, bahkan, Quran juga perlu
dikasihani, karena jadi terlihat buruk, berkat terseret-seret
keburukan tafsiran sang penafsir.

Lalu apakah mereka yang berkata bahwa ummat islam akan selamat apabila
berpegang pada Quran itu salah? Tentu tidak. Asalkan, yang dipegang
itu benar-benar isi al Quran, yang dipahami lewat tafsir al Quran yang
berdasarkan ilmu ulumul Quran.Lalu memang isi al Quran itu apa? Misi
al Quran itu apa? Mengapa bisa menyelamatkan diri dari kecelakaan
dunia dan akhirat?

Saat ini, demikian jauh umat islam dari al Quran, hingga yang
mengetahui misinya, amatlah sedikit. Yang dibayangkan kebanyakan kita
ketika mendengar kata 'Quran diterapkan di kehidupan sehari-hari'
adalah hukum potong tangan, pemisahan perempuan dan laki-laki, dan
pemaksaan jilbab terhadap semua orang tanpa kecuali (mungkin kecuali
yang berkumis atau berjenggot).

Untuk mengetahuinya, kita harus bertanya dulu pada Rasul, sebenarnya
untuk apa dia dijadikan Rasul? Maka beliau menjawab 'sesungguhnya aku
ini diutus terutama untuk memperbaiki akhlaq'. Lalu apakah akhlaq
Rasul? Sudah demikian masyhur jawaban dari pertanyaan ini. Akhlaq
Rasul adalah al Quran.

Isi ayat al Quran sendiri, mayoritas justru bukan mengenai fiqh atau
hukum seperti yang disangka banyak orang, akan tetapi kebanyakan
mengenai akhlaq, tersurat maupun tersirat dalam kisah-kisah. Bahkan,
ayat-ayat fiqh seperti haji, shalat dan zakatpun selalu dikait-kaitkan
dengan akhlaq. Tentu yang harus dilihat adalah keseluruhan Quran, dari
depan sampai belakang, bukan hanya juz amma :).

Akhlaq apa saja? Akhlaq terhadap diri sendiri, seperti kebersihan diri
(fisik dan hati), akhlaq terhadap orang tua, akhlaq terhadap orang
lain, seperti menjaga amanah, akhlaq terhadap Allah, seperti selalu
menyadari akan keberadaanNya, dst.

Tentu akan selamat di dunia dan akhirat berpegang pada akhlaq. Contoh
konkrit ya negeri ini. Indonesia ini kaya, memiliki banyak sumber daya
yang hebat, pemikir yang pintar, hasil-hasil penelitian yang dahsyat,
akan tetapi, karena pengurus negara ini, berakhlaq buruk, hancurlah
sudah negeri ini. Manusia juga demikian.

Tak ada artinya seorang Ilmuwan yang pandai, seorang seniman yang
kreatif, seorang agamawan yang pandai berdalil, seorang Bisnisman yang
kaya, apabila dia berwatak jahat (berakhlaq buruk). Yang terjadi dia
takkan berguna untuk masyarakat, bangsa dan dunia, akan tetapi, bisa
jadi malah membawa kehancuran.

Cobalah mengikuti kajian tafsir pak Quraish Shihab (Lentera hati), pak
Muchtar Adam (Ponpes Babussalam), pak Afif Muhammad (IAIN Bandung),
mereka yang benar-benar mengerti isi al Quran, karena memang mereka
ahli tafsir al Quran. Tanyakanlah pada mereka apa sih, misi dan visi
Al Quran? Yakin deh, jawabannya : akhlaq.

No comments:

Post a Comment