Tuesday 31 August 2010

malam keutamaan

Kitab Keutamaan Lailatul Qadar

Bab 1: Keutamaan Lailatul Qadar Allah berfirman, 

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan, tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (al-Qadr: 1-5) 

Ibnu 'Uyainah berkata, "Apa yang disebutkan di dalam AI-Qur'an dengan kata 'Maa adraaka' 'apakah yang telah memberitahukan kepadamu' sesungguhnya telah diberitahukan oleh Allah. Apa yang disebutkan dengan kata kata 'Maa yudriika' 'apakah yang akan memberitahukan kepadamu', maka Allah belum memberitahukannya." 26)
(Di-maushul-kan oleh Muhammad bin Yahya bin Abu Umar di dalam Kitab Al-Iman, "Telah diinformasikan kepada kami oleh Sufyan bin Uyainah. Lalu, ia menyebutkan riwayat itu.")

(Abu Hurairah berkata,
"Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits yang tertera pada nomor di muka.") 
 
Bab 2: Mencari Lailatul Qadar pada Tujuh Malam yang Terakhir

Bab 3: Mencari Lailatul Qadar pada Malam yang Ganjil dalam Sepuluh Malam Terakhir 
Dalam hal ini terdapat riwayat Ubadah.[2] ([2] Yaitu, hadits Ubadah yang maushul yang disebutkan sesudah bab ini.)
987. Aisyah رضي الله عنها berkata, "Rasulullah ber'itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan beliau bersabda, 'Carilah malam qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan."
 
988. Ibnu Abbas رضي الله عنه mengatakan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda, "Carilah Lailatul Qadar pada malam sepuluh yang terakhir dari (bulan) Ramadhan. Lailatul Qadar itu pada sembilan hari yang masih tersisa,[3] ([3] Sebagai badal dari perkataan 'al-Asyr al-awaakhir' 'sepuluh hari terakhir'. Sembilan hari yang masih tersisa,
maksudnya tanggal dua puluh satu, tujuh hari yang masih tersisa maksudnya tanggal dua puluh tiga, dan lima hari yang masih tersisa maksudnya tanggal dua puluh lima.) tujuh yang masih tersisa, dan lima yang masih tersisa." (Yakni Lailatul Qadar 2/255). 

989. Ibnu Abbas berkata, "Carilah pada tanggal dua puluh empat."[4] ([4] Riwayat ini mauquf (yakni perkataan Ibnu Abbas sendiri), tetapi dirafakan oleh Ahmad. Hadits ini telah ditakhrij di dalam Silsilatul Ahaditsish Shahihah (nomor 1471). Al-Hafizh berkata, "Terdapat kesulitan mengenai perkataan ini yang di dalam riwayat lain dikatakan pada tanggal ganjil. Kesulitan ini dijawab dengan mengkompromikan bahwa lafal yang lahirnya menunjukkan genap itu adalah dihitung dari akhir bulan, sehingga malam dua puluh empat (yang genap) itu adalah malam ketujuh (dihitung dari belakang)."

Bab 4: Dihilangkannya Pengetahuan tentang Tanggal Lailatul Qadar karena Adanya Orang yang Bertengkar
 
990. Ubadah
ibnush-Shamit berkata, "Nabi keluar untuk memberitahukan kepada kami mengenai waktu tibanya Lailatul Qadar. Kemudian ada dua orang lelaki dari kaum muslimin yang berdebat. Beliau bersabda, '(Sesungguhnya aku 1/18) keluar untuk memberitahukan kepadamu tentang waktu datangnya Lailatul Qadar, tiba-tiba si Fulan dan si Fulan berbantah-bantahan. Lalu, diangkatlah pengetahuan tentang waktu Lailatul Qadar itu, namun hal itu lebih baik untukmu. Maka dari itu, carilah dia (Lailatul Qadar) pada malam kesembilan, ketujuh, dan kelima.' (Dalam satu riwayat: Carilah ia pada malam ketujuh, kesembilan, dan kelima)."[5] ([5] Al-Hafizh berkata di dalam Kitab al-Iman di dalam al-Fath, "Demikianlah dalam kebanyakan riwayat, dengan mendahulukan lafal sab 'tujuh' daripada tis 'sembilan'. Hal ini mengisyaratkan bahwa harapan terjadinya Lailatul Qadar pada tanggal ketujuh (dari belakang, yakni dua puluh tiga) itu lebih kuat mengingat dipentingkannya tanggal itu dengan
disebutkan di depan. Akan tetapi, di dalam riwayat Abu Nu'aim di dalam al-Mustakhraj lafal tis secara berurutan." Saya (al-Albani) katakan bahwa terdapat riwayat penyusun (Imam Bukhari) di sini yang terluput dikomentari, sebagaimana Anda lihat. Kemudian al-Hafizh lupa mensyarah riwayat ini di sini. Ia tidak menyebutkan di sana, karena ia menyebutkan di sini bahwa riwayat lain di sisi penyusun di dalam Al-Iman dengan lafal, "Carilah ia pada malam sembilan, tujuh, dan lima." Yakni, dengan mendahulukan lafal sembilan daripada tujuh, demikian pula syarahnya di sini. Seakan-akan terjadi kerancuan di sisinya antara riwayat Imam Bukhari di sini dengan riwayat Abu Nu'aim yang disebutkan di sana. Hanya Allahlah yang dapat memberikan perlindungan. )

Bab 5: Amalan pada Sepuluh Hari Terakhir dalam Bulan Ramadhan
991. Aisyah رضي الله عنها berkata, "Nabi apabila telah masuk sepuluh malam (yang akhir dari bulan Ramadhan) beliau mengikat sarung
beliau,[6] ([6] Yakni, menjauhi hubungan biologis dengan istri beliau. Peringatan: Imam Nawawi membawakan hadits ini pada dua tempat dalam kitabnya Riyadhush Shalihin, dan pada tempat pertama ia menambahkan sesudah perkataan "lailahu" dengan "kullahu", dan menisbatkannya kepada Muttafaq'alaih (Bukhari dan Muslim). Tetapi, tidak saya jumpai tambahan ini di dalam riwayat kedua syekh itu dan lainnya. Namun, diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad (6/41).) menghidupkan malam, dan membangunkan istri beliau." 

 صلی الله عليه وسلم 
-Malam Lailatul Qadar- 
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid 
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur'an Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. 
Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula
menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah. 
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut. 
18.1 Keutamaan Malam Lailatul Qadar 
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman. 
"Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur'an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar." [Al-Qadar : 1-5] 

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. 
"Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkannya
pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui" [Ad-Dukhan : 3-6] 
18.2 Waktunya 
Diriwayatkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. 18.1 
Imam Syafi'i berkata: "Menurut pemahamanku. wallahu 'alam, Nabi صلی الله عليه وسلم menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : "Apakah kami mencarinya di malam ini?", beliau menjawab : "Carilah di malam tersebut." 18.2 
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata Rasulullah صلی الله عليه وسلم beri'tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan
beliau bersabda, 
"Artinya : Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan" 18.3 

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) : Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, 
"Artinya : Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya" 18.4 
 Ini menafsirkan sabdanya. 
"Artinya : Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir" 18.5 

Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah صلی الله عليه وسلم ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda, 
"Artinya : Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar,
tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima)" 18.6 

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir. 
Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah. 
Kesimpulannya 
Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari
pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu 'alam 
18.3 Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar? 
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). 
Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. 
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, 
"Artinya : Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." 18.7
 
Disunnahkan untuk
memperbanyak do'a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia) berkata : "Aku bertanya, "Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?" Beliau menjawab, "Ucapkanlah : 
"Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul afwa fa'fu'annii" 

"Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku."
 
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan. 
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha. 
"Artinya : Adalah Rasulullah صلی الله عليه وسلم, apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan
Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya 18.8 menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya" 18.9 

Juga dari Aisyah, (dia berkata) : 
"Artinya : Adalah Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya." 18.10 
18.4 Tanda-Tandanya 
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu degan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya. 
Dari 'Ubay Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, 
"Artinya : Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi" 18.11 
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah صلی الله
عليه وسلم beliau bersabda, 
"Artinya : Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah." 18.12 

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, 
"Artinya : (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan." 18.13 

18.1Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-neda, Imam Al-Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr Bidzikri Lailatul Qadar , membawakan perkataan para ulama dalam masalah ini, lihatlah...
18.2Sebagaimana dinukil Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 6/386.
18.3Hadits Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169.
18.4Hadits Riwayat Bukhari 4/221 dan Muslim 1165.
18.5Lihat Maraji' tadi.
18.6Hadits Riwayat Bukhari 4/232.
18.7Hadits Riwayat Bukhari 4/217 dan Muslim 759.
18.8Menjauhi
wanita (yaitu istri-istrinya) karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencarinya.
18.9Hadits Riwayat Bukhari 4/233 dan Muslim 1174.
18.10Hadits Riwayat Muslim 1174.
18.11Hadits Riwayat Muslim 762.
18.12 Muslim 1170. Perkataan: "Syiqi jafnah" syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al-Qadhi 'Iyadh berkata: "Dalam hadits ini ada isyarat bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan".
18.13 Tahayalisi 349, Ibnu Khuzaimah 3/231, Bazzar 1/486, sanadnya Hasan. 

Kitab I'tikaf 

Bab 1: I'tikaf pada Sepuluh Hari Terakhir (Bulan Ramadhan) dan I'tikaf dalam Semua Masjid, Firman Allah, "Janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikian Allah menerangkan aya-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa." (al-Bagarah: 187) 

992. Abdullah bin Umar
رضي الله عنه berkata, "Rasulullah biasa melakukan i'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan."
993. Aisyah رضي الله عنها istri Nabi mengatakan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم selalu beri'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau. Setelah itu para istri beliau beri'tikaf sepeninggal beliau. 

Bab 2: Wanita yang Sedang Haid Menyisir Rambut Orang yang Sedang Beri'tikaf 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Aisyah yang tertera pada nomor 167 di muka.") 

Bab 3: Orang yang Beri'tikaf Tidak Boleh Masuk Rumah Kecuali karena Ada Keperluan
 
994. Aisyah رضي الله عنها berkata, "Sungguh Rasulullah memasukkan kepala beliau kepadaku ketika beliau sedang beri'tikaf di masjid, lalu saya menyisirnya. Apabila beliau beri'tikaf, maka beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena ada
keperluan." 

Bab 4: Membasuh atau Mencuci Orang yang Sedang Beri'tikaf
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang diisyaratkan di muka.") 

Bab 5: Mengerjakan I'tikaf pada Waktu Malam 
995. Ibnu Umar رضي الله عنه mengatakan bahwa Umar bertanya kepada Nabi صلی الله عليه وسلم (dalam satu riwayat: dari Ibnu Umar dari Umar ibnul Khaththab bahwa dia 2/259) berkata, "(Wahai Rasulullah! Pada zaman jahiliah dulu, saya bernazar untuk beri'tikaf semalam di Masjidil Haram." Beliau bersabda, "Penuhilah nazarmu." (Lalu Umar beri'tikaf semalam 2/260). 

Bab 6: I'tikafnya Kaum Wanita
 
996. Aisyah رضي الله عنها berkata, "Nabi beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari (dalam satu riwayat: setiap 2/259) bulan Ramadhan. Maka, saya buatkan untuk beliau sebuah tenda. Setelah shalat subuh, beliau masuk ke dalam tenda itu. (Apakah Aisyah meminta izin kepada
beliau untuk beri'tikaf? Lalu Nabi memberinya izin, lantas dia membuat kubah di dalamnya. Maka, Hafshah mendengarnya). Kemudian Hafshah meminta izin kepada Aisyah untuk membuat sebuah tenda pula, maka Aisyah mengizinkannya. Kemudian Hafshah membuat tenda (dalam satu riwayat: kubah). Ketika Zainab binti Jahsy melihat tenda itu, maka ia membuat tenda untuk dirinya. Ketika hari telah subuh, Nabi melihat tenda-tenda itu (dalam satu riwayat: melihat empat buah kubah). Lalu, Nabi bertanya, 'Tenda-tenda apa ini?' Maka, diberitahukan orang kepada beliau (mengenai informasi tentang mereka). Lalu, Nabi bersabda, 'Apakah yang mendorong mereka berbuat begini? Bagaimanakah sebaiknya menurut pikiran kamu mengenai mereka? (Aku tidak melakukan i'tikaf sekarang 2/260).' Lalu, beliau menghentikan i'tikafnya dalam bulan itu. Kemudian beliau beri'tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Syawwal." 

Bab 7: Beberapa Tenda di dalam Masjid
 
(Saya berkata, "Dalam bab
ini Imam Bukhari meriwayatkan sebagian dari hadits Aisyah di atas.") 

Bab 8: Apakah Dibolehkan Orang yang Beri'tikaf Itu Keluar ke Pintu Masjid Sebab Ada Keperluan
 
997. Shafiyyah istri Nabi mengatakan bahwa ia datang mengunjungi Rasulullah pada saat beliau i'tikaf di masjid pada sepuluh (malam) yang akhir pada bulan Ramadhan. (Pada waktu itu di sisi beliau ada istri-istri beliau, lalu mereka bubar 2/285). Lalu, ia bercakap-cakap kepada beliau sesaat, kemudian ia berdiri hendak pulang. (Beliau berkata kepada Shafiyyah binti Huyai, "Janganlah tergesa-gesa sehingga aku pulang bersamamu." Dan rumah Shafiyyah berada di kampung Usamah bin Zaid 4/203). Kemudian Nabi berdiri bersama untuk mengantarkannya pulang. Sehingga, ketika sampai di (sekat 4/45) pintu masjid yang ada di pintu (dalam satu riwayat: tempat tinggal) Ummu Salamah (istri Nabi), lewatlah dua orang laki-laki kalangan Anshar. Lalu, mereka memberi salam kepada Rasulullah (Dalam satu
riwayat: lalu mereka memandang kepada Rasulullah, kemudian keduanya berlalu. Dalam riwayat lain: bergegas). Maka, Nabi bersabda kepada keduanya, "Tunggu! (Kemarilah), dia adalah Shafiyyah binti Huyyai." Kemudian mereka berkata, "Subhanallah, wahai Rasulullah." Hal itu berat dirasa oleh kedua orang itu, maka Nabi bersabda, "Sesungguhnya setan itu dapat mencapai pada manusia pada apa yang dicapai oleh (dalam satu riwayat: mengalir di dalam tubuh anak Adam pada tempat mengalirnya) darah. Aku khawatir setan itu melemparkan (suatu keburukan, atau beliau bersabda:) sesuatu ke dalam hatimu berdua." (Aku bertanya kepada Sufyan, "Apakah Shafiyyah datang kepada Nabi pada waktu malam?" Dia menjawab, "Bukankah ia tidak lain kecuali malam hari?" 2/259). 

Bab 9: Nabi Keluar Mengerjakan I'tikaf pada Pagi Hari Tanggal Dua Puluh
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan sebagian dari hadits Abu Sa'id yang tertera pada nomor 442 di muka.")


Bab 10: I'tikafnya Wanita Istihadhah 
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah yang tertera pada nomor 174 di muka.") 

Bab 11: Kunjungan Seorang Wanita Kepada Suaminya yang Sedang Beri'tikaf 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan hadits Shafiyyah di muka.") 

Bab 12: Apakah Orang yang Beri'tikaf Itu Boleh Membela Dirinya
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Shafiyyah di atas.") 

Bab 13: Orang Yang Keluar dari I'tikaf ketika Subuh
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dari hadits Abu Sa'id yang diisyaratkan di atas.") 

Bab 14: Mengerjakan I'tikaf dalam Bulan Syawwal
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Aisyah (nomor 996 -penj.) di muka.") 
Bab 15: Orang yang Tidak Memandang Harus Berpuasa Jika
Hendak Mengerjakan I'tikaf 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Umar pada dua hadits sebelumnya [yakni nomor 995 penj.].") 

Bab 16: Ibnu Umar : Apabila Seseorang Bernazar pada Zaman Jahiliah untuk Beri'tikaf, Kemudian Ia Masuk Islam 

Bab 17: Beri'tikaf dalam Sepuluh Hari Pertengahan Bulan Ramadhan
 
998. Abu Hurairah رضي الله عنه berkata, "Nabi biasa beri'tikaf dalam setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Kemudian setelah datang tahun yang pada tahun itu beliau dicabut ruhnya (yakni wafat), beliau itikaf selama dua puluh hari." 

Bab 18: Aisyah berkata: Orang Yang Hendak Beritikaf, Kemudian Terlintas dalam Hatinya untuk Keluar
 
Bab 19: Aisyah berkata : Orang yang Itikaf Memasukkan Kepalanya ke Rumah untuk Dibasuh atau Dicuci 167)
Sifat Puasa Nabi صلی الله عليه وسلم 
-I'tikaf- 
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid

Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata: 
"Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta'ala tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta'ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta'ala. 

Sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya. 

Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hamba-Nya, dan akan
membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta'ala, dan disyariatkannya (i'tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. 
Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak. 
Dan disyariatkannya i'tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta'ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. 

Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuanya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan
mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. 

Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i'tikaf yang agung itu." 19.1 
19.1 Makna I'tikaf 
Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu'takif dan 'Akif. 19.2 
19.2 Disyari'atkannya I'tikaf 
Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir bulan Syawwal. 19.3 Dan Umar pernah
bertanya kepada Nabi صلی الله عليه وسلم. 
"Artinya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada zaman jahiliyah (dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram'. Beliau menjawab :Tunaikanlah nadzarmu".
 Maka ia (Umar Radhiyallahu 'anhu) pun beritikaf pada malam harinya. 19.4 

Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan beradasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu (bahwasanya) Rasulullah صلی الله عليه وسلم sering beritikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beritikaf selama dua puluh hari. 19.5 
Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi صلی الله عليه وسلم seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. 19.6 
19.3 Syarat-Syarat I'tikaf 
Tidak disyari'atkan
kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta'ala. 
"Artinya : Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu 19.7 sedangkan kamu beritikaf di dalam masjid" [Al-Baqarah : 187] 
Dan masjid-masjid disini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid ,-pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulai (yaitu) sabda beliau صلی الله عليه وسلم: "Tidak ada I'tikaf kecuali pada tiga masjid (saja). 19.8 
Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radhiyallahu 'anha yang telah disebutkan. 19.9 
19.4 Perkara-Perkara Yang Boleh Dilakukan 
Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata. 
"Dan sesungguhnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang itikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku
sisir rambutnya (dalam riwayat lain : aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau (ada) sebuah pintu] (dan waktu itu aku sedang haid) dan adalah Rasulullah tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I'tikaf." 19.10 
Orang yang sedang Itikaf dan yang yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid, berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi صلی الله عليه وسلم, 
"Artinya : Nabi صلی الله عليه وسلم berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang ringan" 19.11 
Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I'tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri'tikaf, karena Aisyah Radhiyallahu 'anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri'tikaf 19.12 dan hal ini atas perintah Nabi صلی الله عليه وسلم. 19.13 
Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang
beritikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم jika i'tikaf dihamparkan untuk kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At-Taubah. 19.14 
19.5 I'tikafnya Wanita Dan Kunjungannya Ke Masjid 
Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat i'tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radhiyallahu 'anha berkata. 
"Artinya : Dahulu Nabi صلی الله عليه وسلم (tatkala beliau sedang) i'tikaf [pada sepuluh (hari) terkahir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjungi pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka aku pun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu]. 
Kemudian beliaupun
berdiri besamaku untuk mengantar aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi صلی الله عليه وسلم, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda : "Tenanglah, 19.15 ini adalah Shafiyah binti Huyaiy." 

Kemudian keduanya berkata : 'Subhanahallah (Maha Suci Allah) ya Rasullullah". Beliaupun bersabda : "Sesungguhnya syaitan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelakan di hati kalian -atau kalian berkata sesuatu." 19.16 
Seorang wanita boleh i'tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu 'anha: 
"Nabi صلی الله عليه وسلم i'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian
isteri-isteri beliau i'tikaf setelah itu".[Telah lewat takhrijnya] 

Berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah, -pent): 
"Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita i'tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah, Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat" 

19.1 Zaadul Ma'ad 2/86-87.
19.2 Al-Mishbahul Munir 3/424 oleh Al-Fayumi, dan Lisanul Arab 9/252 oleh Ibnu Mandhur.
19.3Riwayat Bukhari 4/226 dan Muslim 1173
19.4Riwayat Bukhari 4/237 dan Muslim 1656.
19.5Riwayat Bukhari 4/245.
19.6Riwayat Bukhari 4/266 dan Muslim 1173 dari Aisyah.
19.7Yakni "Janganlah kami mejima'i mereka" pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lihat Zaadul Masir 1/193 oleh Ibnul Jauzi
19.8Hadits
tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta pembicaraan hal ini pada kitab yang berjudul Al-Inshaf fi Ahkamil I'tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid.
19.9Dikeluarkan oleh Abdur Razak di dalam Al-Mushannaf 8037 dan riwayat 8033 dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
19.10Hadits Riwayat Bukhari 1/342 dan Muslim 297 dan lihat Mukhtashar Shahih Bukhari no. 167 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah dan Jami'ul Ushul 1/3452 oleh Ibnu Asir.
19.11Dikeluarkan oleh Ahmad 5/364 dengan sanad yang shahih.
19.12Sebagaimana dalam Shahih Bukhari 4/226
19.13Sebagaimana dalam Shahih Muslim 1173.
19.14Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 642-zawaidnya dan Al-Baihaqi , sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bushiri dari dua jalan. Dan sanadnya Hasan.
19.15Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci.
19.16Dikeluarkan oleh Bukhari 4/240 dan Muslim 2157 dan tambahan yang terkahir ada pada Abu
Dawud 7/142-143 di dalam Aunul Ma'bud. 



No comments:

Post a Comment